Rencana merger antara dua raksasa layanan ride-hailing di Asia Tenggara, Grab dan GoTo, memicu pertanyaan besar di kalangan masyarakat, khususnya para pengemudi ojek online (ojol) yang selama ini menjadi tulang punggung operasional kedua perusahaan.
Menurut laporan berdasarkan sumber Reuters, Grab yang berbasis di Singapura tengah berupaya mengambil alih GoTo, perusahaan digital asal Indonesia, dalam kesepakatan yang ditargetkan rampung pada kuartal kedua 2025.
“Perusahaan ride-hailing dan layanan antar makanan Grab (GRAB.O), yang terdaftar di AS, berupaya menyepakati kesepakatan untuk mengambil alih pesaingnya yang lebih kecil dari Indonesia, GoTo (GOTO.JK), pada kuartal kedua tahun ini,” kata laporan Reuters, dikutip Jumat, 9 Mei 2025.
Grab telah menunjuk penasihat untuk menangani rencana akuisisi ini. Namun, prosesnya masih bergantung pada berbagai syarat seperti pendanaan, yang hingga kini masih dibahas dengan sejumlah bank.
“Kesepakatan ini bergantung pada sejumlah syarat, seperti pembiayaan, yang saat ini sedang didiskusikan Grab dengan sejumlah bank,” demikian pernyataan sumber.
Baik Grab maupun GoTo menolak memberikan komentar resmi terkait isu akuisisi tersebut. Namun, Grab disebut membidik valuasi GoTo sebesar 7 miliar dolar AS, di atas kapitalisasi pasarnya yang kini 5,8 miliar dolar AS.
Goto Dijual Seluruhnya ke Grab
Sementara itu, menurut data dari London Stock Exchange Group (LSEG), Grab mencatat nilai pasar hampir 20 miliar dolar AS setelah sahamnya di Nasdaq naik 2,4 persen sepanjang tahun ini.
Dari sisi operasional, GoTo dikabarkan akan melepas seluruh bisnisnya di Indonesia kecuali unit keuangan, sementara unit internasional di Singapura akan dijual kepada Grab. Langkah ini berdampak pada dominasi baru dalam industri ride-hailing Asia Tenggara.
Menurut Euromonitor International, merger tersebut akan melahirkan entitas yang menguasai sekitar 85 persen dari pasar ride-hailing senilai 8 miliar dolar AS di Asia Tenggara.
“Entitas gabungan akan memegang pangsa pasar lebih dari 91 persen di Indonesia, dan hampir 90 persen di Singapura,” kata Manajer Insight Bidang Pembayaran dan Pinjaman untuk Asia dari Euromonitor International, David Zhang.
Namun, dominasi ini memicu kekhawatiran karena regulator di Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Singapura, diperkirakan akan mengawasi ketat karena potensi monopoli.
“Pasar-pasar, terutama di Indonesia dan Singapura, akan memberlakukan pengawasan yang ketat,” ujarnya, seraya menyebut merger ini kemungkinan akan diblokir oleh regulator di beberapa pasar utama.
Analis BRI Danareksa, Niko Margaronis, menilai otoritas Indonesia mungkin bersikap pragmatis dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi jangka panjang dan penguatan pemain lokal.
“Otoritas Indonesia mungkin akan mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis,” katanya, sambil menilai merger ini dapat membawa nilai ekonomi berkelanjutan.
Bagaimana Nasib Para Driver Ojol?
Namun di tengah semua manuver korporasi tersebut, belum ada kejelasan mengenai nasib para pengemudi ojek online, baik yang tergabung di ekosistem Grab maupun Gojek (anak usaha GoTo).
Apakah mereka akan tetap beroperasi di bawah satu aplikasi? Apakah akan ada perubahan sistem insentif, algoritma pesanan, atau bahkan efisiensi yang berdampak pada pengurangan jumlah mitra? Belum terpatri jawaban pasti.
Meski merger ini bisa menciptakan kekuatan baru, pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa penggabungan perusahaan ride-hailing sering menimbulkan dampak langsung terhadap kesejahteraan pengemudi, mulai dari berkurangnya pilihan platform hingga penyesuaian tarif dan sistem kerja.
Sementara itu, contoh pembatalan merger di Taiwan antara Uber dan Foodpanda senilai 950 juta dolar AS pada Maret lalu menunjukkan bahwa regulator bisa sangat tegas dalam menjaga iklim kompetisi dan melindungi konsumen serta pekerja sektor ini.
“Uber membatalkan tawarannya, setelah Taiwan memblokir kesepakatan tersebut karena kekhawatiran antikompetitif dan potensi insentif bagi Uber untuk menaikkan harga.”(pikiran-rakyat.com)