Sisi Gelap Panggung Sirkus Taman Safari, Pemain Mengaku Dijejali Kotoran dan Dipaksa Tampil Saat Hamil
Kesaksian memilukan disampaikan oleh para mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) dalam audiensi dengan Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
Mereka menceritakan secara langsung di hadapan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, termasuk pengalaman pahit yang dialami selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi.
Kejadian ini berawal dari sebuah kelompok sirkus asal Indonesia yang mencari talenta untuk dididik sebagai pemain sirkus.
Sayangnya, cara-cara yang dipakai kala itu tidaklah manusiawi.
Mereka menjanjikan pendidikan dan kehidupan yang layak bagi anak-anak yang diambil untuk diadopsi.
Mereka bahkan membayar sejumlah uang untuk “membeli” anak-anak yang masih berusia 5-7 tahun dan membawa anak tersebut untuk dilatih sirkus.
Kesaksian mantan pemain sirkus
Salah satu kesaksian yang menyedihkan disampaikan oleh seorang mantan pemain sirkus bernama Ida.
Ida, di atas kursi rodanya, menceritakan bagaimana dirinya mengalami kecelakaan serius saat tampil di Lampung.
Namun, alih-alih segera mendapatkan pertolongan, ia justru harus menahan sakit dalam waktu yang lama.
“Saya mengalami jatuh dari ketinggian saat show di Lampung. Setelah jatuh, saya tidak langsung dibawa ke rumah sakit,” kata Ida.
“Setelah pinggang saya mulai bengkak, barulah saya dibawa ke rumah sakit dan ternyata saya patah tulang. Tidak lama kemudian saya dibawa ke Jakarta dan dioperasi,” lanjutnya.
“Dari situ, saya akhirnya dipertemukan dengan orang tua saya,” ujar Ida dengan suara bergetar.
Kesaksian memilukan juga diungkapkan oleh Butet, seorang mantan pemain sirkus perempuan lainnya.
Ia mengaku sering mendapatkan perlakuan kasar bahkan ketika sedang hamil.
“Kalau main saat show tidak bagus, saya dipukuli. Pernah dirantai pakai rantai gajah di kaki, bahkan untuk buang air saja saya kesulitan,” kata Butet.
“Saat hamil pun saya dipaksa tetap tampil. Setelah melahirkan, saya dipisahkan dari anak saya, saya tidak bisa menyusui. Saya juga pernah dijejali kotoran gajah hanya karena ketahuan mengambil daging empal,” ungkap Butet sambil menahan tangis.
Butet juga mengungkapkan, selama hidupnya ia tidak mengetahui siapa dirinya sebenarnya, termasuk nama asli, usia, maupun keluarganya.
Identitas yang hilang itu menjadi luka batin lain yang ia bawa hingga kini.
“Saya tidak tahu identitas saya, nama, keluarga, dan bahkan usia saya,” ujar dia.
Kesaksian serupa datang dari Fifi, yang mengaku telah berada di lingkungan sirkus sejak bayi.
Fifi diambil oleh salah satu bos OCI saat ia baru lahir.
Fifi merupakan anak dari Butet dan ia menyadari hal itu setelah tumbuh dewasa.
Butet mengaku menyerahkan Fifi untuk diasuh orang lain karena belum memiliki kehidupan yang layak.
“Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya enggak kuat, akhirnya saya kabur lewat hutan malam-malam, sampai ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi,” tutur Fifi.
Namun, nasibnya malah semakin tragis setelah tertangkap kembali.
Fifi mengalami penyiksaan yang berkali-kali lipat lebih kejam dari sebelumnya.
“Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum. Kelamin saya disetrum sampai saya lemas. Rambut saya ditarik, saya ngompol di tempat, lalu saya dipasung,” kenangnya dengan suara lirih.
Kementerian HAM akan panggil Taman Safari
Wakil Menteri HAM Mugiyanto memastikan akan segera memanggil manajemen Taman Safari Indonesia dalam waktu dekat.
“Setelah kami mendengar laporan dari para korban, kami juga akan mengupayakan untuk mendapatkan informasi dari pihak yang dilaporkan sebagai pelaku tindak kekerasan. Kami akan lakukan secepatnya,” ujar Mugiyanto.
Ia menegaskan langkah ini harus segera diambil untuk memastikan tidak ada lagi praktik serupa yang terus berlangsung.
“Karena salah satu upayanya memang mencegah supaya praktik seperti sekarang ini tidak terjadi lagi. Dan itu harus cepat. Mudah-mudahan dalam minggu-minggu ke depan kita sudah bisa lakukan,” katanya.
Dia menyebutkan bahwa pemanggilan ini juga bertujuan untuk mengawal rekomendasi dari Komnas HAM, yang hingga kini belum ditindaklanjuti oleh pihak Taman Safari Indonesia.
“Kami berharap semua pihak comply, patuh terhadap aspek-aspek asasi manusia. Karena Kementerian HAM ada untuk memastikan semua pihak, baik pemerintah, swasta, hingga dunia usaha, patuh pada norma HAM,” kata Mugiyanto.
Tantangan proses hukum
Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
“Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
“Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
Melihat hal itu, Mugiyanto menyadari bahwa tantangan hukum dalam kasus ini cukup berat, mengingat sebagian besar peristiwa terjadi di era 70-an hingga 80-an — sebelum adanya Undang-Undang HAM di Indonesia.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa hukum tetap bisa menjerat pelaku jika ditemukan unsur pidana.
“Memang ini kasus lama. Pada masa itu, kita belum punya Undang-Undang HAM. Namun, bukan berarti tindak pidana yang terjadi tidak bisa dihukum. Kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka,” jelasnya.
Aturan dunia usaha dalam memperlakukan pekerja
Mugiyanto menyoroti pentingnya dunia usaha, termasuk bisnis hiburan seperti sirkus, untuk menghormati hak asasi manusia dalam setiap aktivitasnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia sudah memiliki Strategi Nasional Bisnis dan HAM sejak 2022, yang menjadi panduan penting agar praktik bisnis tidak lagi melanggar hak-hak pekerja.
“Nanti dalam pertemuan dengan pihak Taman Safari, kami juga akan sampaikan tentang UN Guiding Principle on Business and Human Rights. Mereka harus mematuhi prinsip ini. Dunia usaha, apapun bentuknya, harus menghormati hak asasi manusia,” tegasnya.
Ia pun menegaskan bahwa negara tidak lagi boleh membiarkan praktik kekerasan seperti perbudakan yang dialami para pemain sirkus di masa lalu kembali terjadi.
“Indonesia sekarang adalah negara yang menghormati hak asasi manusia dan demokratis. Tidak boleh lagi ada peristiwa seperti itu, apalagi menimpa anak-anak dan perempuan,” pungkasnya.
Klarifikasi Taman Safari Indonesia
Manajemen Taman Safari Indonesia mengatakan, masalah tersebut melibatkan individu tertentu.
Dia memastikan, pihaknya tidak memiliki keterikatan hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus tersebut.
“Taman Safari Indonesia Group sebagai perusahaan ingin menegaskan bahwa kami tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut,” kata Manajemen Taman Safari Indonesia dalam keterangan resmi.
Manajemen Taman Safari Indonesia menegaskan bahwa pihaknya merupakan badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud.
“Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” lanjut Manajemen Taman Safari Indonesia.
Manajemen Taman Safari Indonesia menegaskan bahwa hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya.
Namun, Manajemen Taman Safari Indonesia berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan ini.
“Kami berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab,” jelas Manajemen Taman Safari Indonesia.
“Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tegas Manajemen Taman Safari Indonesia.(kompas.com)